AHLAN WA SAHLAN DI BLOG PRIBADI SAYA SEMOGA BERMANFAAT

Minggu, 03 Februari 2008

Mendesain Sekolah yg Unggul Dan Kompetitif

MENDESAIN SEKOLAH UNGGUL DAN KOMPETITIF
BY
MUHAMMAD SYUHUD,S.HUM


A. LATAR BELAKANG


Sesungguhnya dewasa ini di tengah-tengah masyarakat sedang berlangsung berbagai krisis multidimensional dalam segala aspek kehidupan. Kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan berbagai bentuk penyakit sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Di sisi lain, sekalipun pemerintahan baru telah terbentuk, tapi kestabilan politik belum juga kunjung terujud. Bahkan gejolak politik di beberapa daerah malah terasa lebih meningkat. Mengapa semua ini terjadi?
Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan oleh karena tindakan manusia sendiri. Ditegaskan oleh Allah dalam Firman-Nya yang artinya “Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia”. (QS. Ar Rum: 41).
Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab Shafwatu al-Tafasir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bimaa kasabat aydinnas dalam ayat itu adalah “oleh karena kemaksiyatan-kemaksiyatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia (bi sababi ma’ashi al-naas wa dzunu bihim)”. Maksiyat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan meninggalkan yang diwajibkan. Dan setiap bentuk kemaksiyatan pasti menimbulkan dosa.
Selama ini, terbukti di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali kemaksiyatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan Tuhannya saja. Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan.
Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik. Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilai-nilai melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya.
Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih. Kesanalah dalam musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup ala Barat orang mengacu. Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Sikap beragama sinkretistik intinya adalah menyamadudukan semua agama. Paham ini bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa, menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan sudut pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama, kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3) oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama, diperlukan aturan hidup bermasyarakat yang mampu mengadaptasi semua paham dan agama yang berkembang di dalam masyarakat. Sikap beragama seperti ini menyebabkan sebagian umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah SWT.
Sementara itu, sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus menguasai iptek. Secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departamen yang berbeda, yakni Depag dan Depdiknas. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.
Jauh sebelumnya, bahkan Hilliard (1966) -- penulis masalah kekristenan dalam pendidikan (Christianity in Education) – seperti yang dikutip oleh Husain dan Asharaf (1994) dalam buku Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, secara transparan telah menjelaskan bahwa sekulerisasi pendidikan memang telah meruncing dan akhirnya benar-benar terbentuk di Barat pada abad ke-15 dan 16, yakni ketika terjadi pemisahan cabang-cabang ilmu sekuler dengan cabang-cabang ilmu yang bersumber dari agama. Cabang-cabang ilmu sekuler dinyatakan terputus kaitannya dengan persoalan ilahiyah dan sumber dari cabang-cabang sekuler dinyatakan sebagai akal manusia semata yang tidak perlu dihubungkan dengan agama. Sekulerisasi ini terus berproses dan akhirnya mendorong munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikategorisasikan pada tahun 1957 oleh para rektor universitas-unversitas Amerika sebagai “Ilmu-ilmu Sastra, Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Alam”. Penggolongan ini yang kemudian menjadi populer tidak hanya di Amerika dan Eropa tetapi juga di dunia Muslim. Bahkan, dalam perencanaan kurikulum untuk unviersitas-universitas Amerika, ilmu bernuansa agama tidak dimasukan ke dalam pengajaran wajib. Para siswa hanya diharapkan mempunyai pengetahuan dasar mengenai ketiga cabang tersebut.
Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
Pengamatan secara mendalam atas semua hal di atas, membawa kita pada satu kesimpulan yang sangat mengkhawatirkan: bahwa semua itu telah menjauhkan manusia dari hakikat kehidupannya sendiri. Manusia telah dipalingkan dari hakikat visi dan misi penciptaannya.

1 komentar:

Wawan mengatakan...

Mr Syuhud said: COOL, but please change to word "Sekolah ungguk" to "Sekolah Unggul". Thanks.